konsumsi Islami dan Perilaku Konsumen Dalam Memiliki Barang
MAKALAH
ILMU EKONOMI MIKRO ISLAM
Konsumsi Islami dan Perilaku Konsumen Dalam Memiliki Barang
Disusun oleh:
Syalbia Marvilina (2430404121)
24-MBS-D
KATA PENGANTAR
Terlebih dahulu marilah kita mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Atas nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyeselaikan sebuah makalah dengan judul “ Konsumsi Islami dan Perilaku Konsumen Dalam Memiliki Barang". Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Ekonomi Mikro Islam.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Ikhwal ini tidak terlepas dari keterbatasan penulis sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tugas – tugas yang akan datang.
Batusangkar, Maret 2025
Penulis
DAFTAR ISI
- A. Latar Belakang ................................................................................
- B. Rumusan Masalah ...............................................................................
- C. Tujuan ...............................................................
- Menjelaskan Konsumsi dalam Islam
- Menjelaskan Kepuasan Konsumsi dalam Islam
- Menjelaskan Konsep Rasionalitas Ekonomi
- Menjelaskan Kepuasan dan Rasionalitas Ekonomi dalam Islam
- Menjelaskan Konsep Penting dalam Konsumsi
- Menjelaskan Teori Perilaku Konsumen dalam Ilmu Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam
- Menjelaskan Perbandingan Perilaku dan Prinsip Konsumsi Antara Konvensional dan Islam
- Menjelaskan Konsep Maslahah dalam Perilaku konsumen Islami
- Mengetahui Konsumsi dalam Islam
- Mengetahui Kepuasan Konsumsi dalam Islam
- Mengetahui Konsep Rasionalitas Ekonomi
- Mengetahui Kepuasan dan Rasionalitas Ekonomi dalam Islam
- Mengetahui Konsep Penting dalam Konsumsi
- Mengetahui Teori Perilaku Konsumen dalam Ilmu Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam
- Mengetahui Perbandingan Perilaku dan Prinsip Konsumsi Antara Konvensional dan Islam
- Mengetahui Konsep Maslahah dalam Perilaku konsumen Islami
- Barang atau jasa yang dikonsumsi harus halal
- Dalam menkonsumsi barang atau jasa tidak berlebih-lebihan
- Tidak mengandung riba.
1) Mashlahah yang lebih besar lebih disukai daripada yang lebih sedikit.
Mashlahah yang lebih tinggi jumlah atau tingkatannya lebih disukai daripada mashlahah yang lebih rendah jumlah atau tingkatannya atau monotonicity mashlahah yang lebih besar akan memberikan kebahagiaan yang lebih tinggi, karenanya lebih disukai daripada mashlahah yang lebih kecil.
2) Mashlahah diupayakan terus meningkat sepanjang waktu.
Konsep ini sering disebut dengan quasi concavity, yaitu situasi mashlahah yang menunjukkan pola non-decreasing. Karena jika seseorang menderita sakit maka ia akan berusaha mengobati sakitnya tersebut, sebab sakit tidaklah menyenangkan dan dapat menurunkan mashlahah hidupnya. Selanjutnya dia bersedia mengeluarkan sejumlah pengobatan tertentu misalnya olahraga, vaksinasi, dan lain-lain agar tidak jatuh sakit lagi dan lebih sehat di masa depan agar mashlahah hidupnya semakin meningkat atau setidaknya tetap.
1) Risiko yang bernilai (Worthed Risk)
Risiko ini mengandung dua elemen yaitu risiko (risk) dan hasil (return). Kedua istilah ini muncul karena dalam hal-hal tertentu hasil selalu terkait dengan risiko, dimana keduanya dapat sepenuhnya diantisipasi dan dikalkulasi seberapa besar peluang dan nilainya. Dengan membandingkan risiko dan hasil maka suatu risiko akan dapat ditentukan apakah risiko tersebut worthed atau tidak. Suatu risiko dapat dianggap worthed atau tidak. Suatu risiko dapat dianggap worthed jika dan hanya jika risiko yang dihadapi nilainya lebih kecil daripada hasil yang akan diperoleh.
Kemunculan fenomena worthed risk ini tidak menyimpang dari aksioma-aksioma yang dikemukakan di depan. Dalam konteks tersebut risiko dapat dianggap sebagai pengorbanan bagi seseorang yang memikulnya, sedangkan hasil dapat dianggap sebagai bagian dari mashlahah yang diterima sebagai konpensasi kesediaannya memikul risiko. Jika mashlahah yang diterima lebih besar dari risiko, yaitu engorbanan, maka pengorbanan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hal yang sia-sia dan karenanya tidak bertentangan dengan aksoma non-wasting. Dalam hal ini mashlahah yang positif berarti juga tidak bertentangan dengan aksioma monotonicity.
2) Risiko yang tak bernilai (Unworthed Risk)
Meskipun worthed risk telah menjadi fenomena di banyak kegiatan ekonomi saat ini, namun terdapat pula risiko-risiko yang amworthed, yaitu ketika nilai hasil yang diharapkan lebih kecil dari risiko yang ditanggung ataupun ketika risiko dan hasil tersebut tidak dapat diantisipasi dan dikalkulasi. Objek pembahasan dalam paparan ini dibatasi pada unworthed risk. Dengan kata lain, hanya jenis risiko inilah yang setiap pelaku berusaha untuk menghindarinya.
- Kebutuhan (Hajat). Dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan penggunaan sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting pengembangan potensi manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga, kebutuhan dalam prespektif Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya yang tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan isinya.
- Kegunaan atau Kepuasan (Manfaat). Beberapa ayat al-Qur'an mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan terwujudnya kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah barang yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan lebih dari itu, barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak negatif di kemudian hari.
- Teori Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Konvensional.
2. Teori Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Islam
Ekonomi Islam pada hakekatnya terletak pada penyikapan manusia pada harta. Termasuk didalamnya semua perilaku manusia dalam mencari harta (produksi), menyimpan harta (mengelola kekayaan) dan membelanjakan harta (konsumsi). Menurut Sakti (2003) Ada empat prinsip utama dalam Sistem Ekonomi Islam yang diisyaratkan dalam Al Qur'an.
Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurious living), bermakna juga bahwa tindakan-tindakan ekonomi hanyalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan (needs) bukan memuaskan keinginan (wants) (Qorodhowi, 1997). Menurut Abdul Mannan (1995) sikap tidak berlebih-lebihan dan mengutamakan kepentingan orang lain adalah yang paling penting yang diartikan secara luas.
Menurut Mannan, konsumsi yang dilakukan seseorang yang menggunakan aturan Islam harus memenuhi lima prinsip, yaitu prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prisip kemurahan hati, dan prinsip moralitas (Mannan, 1995). Sedangkan Yusuf Qaradhawi (1999) menjelaskan bahwa dalam konsumsi terdapat tiga prinsip yaitu membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir, tidak melakukan kemubaziran dan kesederhanaan. Pendapat para tokoh ini, pada intinya adalah satu yaitu bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah.
Terdapat empat prinsip dalam sistem ekonomi Islam dalam menyikapi permasalahan tentang perilaku konsumen, termasuk konsumsi di dalamnya: Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and lixurius living); bahwa tindakan ekonomi diperuntukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup (needs) bukan pemuasan keinginan (wants).
1). Completeness
Aksioma ini mengatakan bahwa setiap individu selalu dapat menentukan keadaan mana yang lebih disukainya diantara dua keadaan.
2). Transitivity
Aksioma ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatakan "A" lebih disukai daripada "B" dan "B" lebih disukai daripada "C", "maka pasti ia akan mengatakan bahwa "A" lebih disukai daripada "C". aksioma ini sebenarnya untuk memastikan adanya konisistensi internal dalam diri individu. dalam mengambil keputusan.
3). Continuity
Aksioma ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatkan "A" lebih disukai daripada "B", "maka keadaan yang mendekati "A" pasti juga lebih disukai daripada "B" (Adi Warman A karim, 2007, p.64-65)
3. Perbedaan Maslahah dan Utility
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa tujuan konsumsi seorang muslim bukanlah mencari utility, melainkan mencari maslahah. Konsepsi utility atau kepuasan sangat berbeda dengan konsep masalahah atau kemanfaatan yang menjadi tujuan dalam konsumsi yang islami. Konsep utility bersifat sangat subyektif karena bertolak dari pemenuhan yang memang bersifat subyektif sementara itu, konsep maslahah relative lebih obyektif karena bertolak dari pemenuhan need yang memang relative lebih obyektif dibanding want.
4. Perbedaan Motif dan Tujuan Konsumsi Islami dengan Konvensional
Gambar 1.1 dan 1.2 menunjukkan perbedaan motif dan tujuan konsumsi islami dengan konvensional, pada gambar 1.1 menjelaskan motif dan tujuan konsumsi dalam ekonomi konvensional sedangkan gambar 1.2 menjelaskan motif dan tujuan konsumsi dalam ekonomi islam (Hendri Anto, 2003, p.127)
H. Konsep Maslahah dalam Perilaku konsumen Islami
Secara sederhana maslahah dapat diartikan sebagai segala bentuk kedaan, baik material maupun non material, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai mahkluk yang paling mulia (P3EI UII Yogyakarta, 2008:5).
Selain itu juga mashlahah diartikan yaitu, merupakan segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spritual serta individual dan kolektif serta harus memenuhi tiga unsur yakni kepatuhan syariah (halal), bermanfaat dan membawa kebaikan (thoyib) dalam semua aspek secara keseluruahn yang tidak menimbulkan kemudharatan. (Ahmad Ifham Sholihin, 2010:498)
Perilaku konsumen dalam Islam menekankan pada konsep dasar bahwa manusia cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan rasionalitas ekonomi Islam bahwa setiap pelaku ekonomi ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya dalam berkonsumsi.
Tujuan lain dari konsumen adalah bertujuan untuk mencapai maslahah. Pencapaian maslahah merupakan tujuan dari syariat Islam yang menjadi tujuan dari kegiatan konsumsi. Maslahah dipergunakan dalam ekonomi Islam, disebabkan penggunaan asumsi manusia bertujuan mencari kepuasan (utility) maksimum tidak mampu menjelaskan apakah barang yang memuaskan selalu identik dengan barang yang memberikan manfaat atau berkah bagi penggunanya. Selain itu, batasan seseorang dalam mengonsumsi hanyalah kemampuan anggaran tanpa mempertimbangkan aturan dan prinsip syariat.
Perilaku konsumen dalam Islam menekankan pada konsep dasar bahwa manusia cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimal. Hal ini sesuai dengan rasionalitas dalam ekonomi Islam bahwa setiap pelaku ekonomi ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya dalam konsumsi.
Dalam Al-Qur'an, kata maslahah banyak disebut dengan istilah manfaat yang berarti kebaikan yang terkait dengan material, fisik, dan psikologis. Maslahah sering diungkap juga dengan istilah lain seperti hikmah, huda dan barakah, yang berarti imbalan baik yang dijanjikan oleh Allah mulai di dunia dan hingga di akhirat. Dengan demikian maslahah mengandung pengertian kemanfaatan dunia dan akhirat.
Konsep maslahah dikoneksikan dengan kebutuhan, sedangkan kepuasan dikoneksikan dengan keinginan. Dengan demikian, kepuasan merupakan suatu akibat dari terpenuhinya suatu keinginan, sedangkan maslahah merupakan suatu akibat atas terpenuhinya kebutuhan. Meskipun demikian, terpenuhinya suatu kebutuhan juga akan memberikan kepuasan, terutama jika kebutuhan tersebut didasari dan diinginkan sehingga akan merasakan maslahah sekaligus kepuasan. Berbeda dengan kepuasan yang bersifat individualis, maslahah tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi dapat dirasakan pula oleh orang lain atau sekelompok masyarakat.
Islam mengakui bahwa maslahah tetap menyisakan ruang subjektivitas, tetapi setidaknya dapat dikatakan bahwa konsep maslahah lebih objektif dibandingkan dengan konsep utility, dengan beberapa alasan sebagai berikut:
a). Maslahah relatif lebih objektif karena didasarkan pada pertimbangan yang objektif (kriteria tentang halal dan baik) sehingga sesuatu benda ekonomi dapat diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak. Sementara, utility mendasarkan kriteria yang lebih subjektif, karena dapat berbeda antara individu satu dengan lainnya. Misalnya, minuman keras bagi seorang muslim adalah haram karena dilarang oleh agama, sebab kerugiannya lebih besar dibanding maslahah, yaitu dapat merusak akal. Sementara dalam konsep utility minuman keras memiliki manfaat meskipun bersifat relatif, tergantung pada keadaan individu masing-masing.
b). Maslahah individu relatif konsisten dengan maslahah sosial, sebaliknya utilitas individu sering berseberangan dengan utilitas sosial. Hal ini terjadi karena dasar penentuannya yang lebih objektif sehingga lebih mudah. diperbandingkan, dianalisis dan disesuaikan antara individu dan sosial, misalnya minuman keras memiliki utilitas bagi individu yang menyukainya tetapi tidak memiliki utilitas sosial.
c). Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi, maka semua aktivitas ekonomi masyarakat, baik konsumsi, produksi dan distribusi akan mencapai tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan. Hal ini berbeda dengan utility dalam ekonomi konvensional, konsumen mengukurnya dari kepuasan yang diperoleh konsumen dan keuntungan yang maksimal bagi produsen dan distributor, sehingga berbeda tujuan yang akan dicapainya.
d). Dengan konsep maslahah dapat membedakan antara orang satu dengan orang lainnya. Misalnya, orang yang melindungi hidupnya dengan mengkonsumsi buah-buahan tentunya berbeda dengan orang yang mengkonsumsi buah-buahan untuk menjaga kesehatannya.
Ahmed Sakr mengidentifikasi beberapa kriteria dari maslahah, yaitu jelas dan faktual, artinya objektif, terukur dan nyata, bersifat produktif yang artinya maslahah memberikan dampak konstruktif bagi kehidupan Islami, tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang berarti tidak terdapat konflik antara maslahah individu dan maslahah sosial.
Sementara itu dalam konteks perilaku konsumen, konsep maslahah juga dibedakan dengan utility. Utility diartikan sebagai konsep kepuasan konsumen dalam konsumsi barang dan jasa. Sedangkan konsep maslahah diartikan sebagai konsep pemetaan perilaku konsumen berdasarkan asas kebutuhan dan prioritas.
Kandungan maslahah terdiri atas manfaat dan berkah. Dalam hal perilaku konsumsi, seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Ia merasakan adanya manfaat dari kegiatan konsumsi jika mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau material. Pada sisi lain, berkah yang diperolehnya ketika ia mengonsumsi barang atau jasa yang dihalalkan oleh syariat Islam. Mengonsumsi yang halal saja merupakan kepatuhan pada Allah SWT. sehingga ia memperoleh pahala. Pahala inilah yang kemudian dirasakan sebagai berkah dari barang atau jasa yang telah dikonsumsi. Sebaliknya konsumen tidak akan mengonsumsi suatu barang atau jasa yang haram karena tidak mendatangkan berkah. Mengonsumsi yang haram hanya akan menimbulkan dosa yang pada akhirnya berujung pada siksa Allah SWT. Dengan demikian, mengonsumsi yang haram justru memberikan berkah negatif.
Maslahah adalah pemilikan atau kekuatan dari barang atau jasa yang memelihara prinsip-prinsip dasar dan tujuan hidup manusia di dunia. Shatibi telah mendeskripsikan lima kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi eksisnya kehidupan manusia di dunia, yaitu kehidupan, kekayaan, keimanan, akal dan keturunan. Seluruh barang dan jasa yang mendorong dan berkualitas dalam memelihara kelima elemen tersebut disebut maslahah.
Seorang muslim memerlukan atau memproduksi seluruh barang dan jasa yang merupakan maslahah bergantung pada barang atau jasa yang cenderung mempertahankan elemen mendasar. Barang atau jasa yang melindungi elemen ini akan lebih bermaslahat diikuti oleh barang atau jasa yang akan meningkatkan dan barang-barang yang sekedar memperindah kebutuhan dasar.
Dalam konteks perilaku konsumen, konsep maslahah juga dibedakan dengan utility. Utility diartikan sebagai konsep kepuasan dalam konsumsi barang dan jasa. Sedangkan konsep maslahah diartikan sebagai konsep pemetaan perilaku konsumen berdasarkan atas kebutuhan dan prioritas. Dua konsep ini berbeda karena dibentuk oleh epistemologi yang berbeda pula.
Bab III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsumsi Islami dan perilaku konsumen dalam memiliki barang merupakan bagian penting dari ajaran Islam yang berlandaskan prinsip mashlahah (kemaslahatan) untuk diri, masyarakat, dan lingkungan. Dalam Islam, konsumsi tidak hanya dipandang sebagai aktivitas memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang sesuai syariat. Prinsip konsumsi Islami menekankan pada keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan duniawi dan akhirat, serta menghindari perilaku berlebihan (tabdzir) atau kikir (taqtir).
Mashlahah menjadi landasan utama dalam konsumsi Islami, di mana setiap keputusan konsumsi harus membawa manfaat dan kebaikan, baik secara individu maupun sosial. Konsumen Muslim dianjurkan untuk memilih barang yang halal dan thayyib (baik), sehingga dapat menjaga kesehatan fisik, spiritual, dan moral. Selain itu, perilaku konsumsi juga harus mencerminkan nilai-nilai tanggung jawab sosial, seperti berbagi dengan sesama melalui zakat, infak, dan sedekah.
Islam mengajarkan bahwa harta adalah amanah dari Allah yang harus digunakan dengan bijak untuk mencapai tujuan hidup yang lebih besar, yaitu memperoleh keridhaan-Nya. Oleh karena itu, perilaku konsumen Muslim harus didasarkan pada prinsip efisiensi, keadilan, dan keberlanjutan, sehingga tidak hanya memberikan manfaat bagi diri sendiri tetapi juga bagi masyarakat luas. Dengan menerapkan konsumsi Islami yang berorientasi pada mashlahah, umat Islam dapat menciptakan keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi serta berkontribusi pada terciptanya kehidupan yang harmonis dan penuh berkah.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Maka dari itu Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun pembahasan makalah di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Daryanto S.S. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Apollo, Surabaya, 1997, h. 374
Hubungan antara motif dan tujuan konsumsi Sumber: M.B. Hendrie Anto (2003: 130
John M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, h.142
JURNAL PERSPEKTIF EKONOMI DARUSSALAM
Rozalinda, op.cit, him. 200
Sumar'in, Ekonomi Islam Sebuah Pendekatan Ekonomi Mikro Perspektif Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), 100-103,
Komentar
Posting Komentar