konsumsi Islami dan Perilaku Konsumen Dalam Memiliki Barang

MAKALAH

ILMU EKONOMI MIKRO ISLAM

Konsumsi Islami dan Perilaku Konsumen Dalam Memiliki Barang 




Disusun oleh:

Syalbia Marvilina (2430404121)


24-MBS-D


DOSEN PENGAMPU:
Tezi Asmadia, M. E. Sy



PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAHMUD YUNUS BATUSANGKAR
TAHUN 2025








KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu marilah kita mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Atas nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyeselaikan sebuah makalah dengan judul “ Konsumsi Islami dan Perilaku Konsumen Dalam Memiliki Barang". Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Ekonomi Mikro Islam.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Ikhwal ini tidak terlepas dari keterbatasan penulis sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tugas – tugas yang akan datang.





Batusangkar, Maret 2025

                                                                                           Penulis








DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR  ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN  
  • A. Latar Belakang  ................................................................................
  • B. Rumusan Masalah  ..............................................................................
  • C. Tujuan ............................................................... 

BAB II PEMBAHASAN
A. Konsumsi Dalam Islam ............................. 
B. Kepuasan Konsumsi Dalam Islam .......................................................................
C. Konsep Rasionalitas Ekonomi........... .........................................................
D. Kepuasan dan Rasionalitas Konsumsi dalam Islam ............................
E. konsep Penting Dalam Konsumsi.......................................................
F. Teori Perilaku Konsumen dalam Ilmu Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam................................................................
G. Membandingkan Perilaku dan Prinsip Konsumsi Antara Konvensional dan Islam........................................................
H. konsep maslahah dalam perilaku konsumen Islami............................................

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................... 
B. Saran..................................................................... 

DAFTAR PUSTAKA














BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 
Konsumsi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kebutuhan untuk mengonsumsi berbagai barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat primer, sekunder, maupun tersier. Namun, dalam Islam, konsumsi tidak hanya dipandang sebagai aktivitas ekonomi semata, melainkan juga sebagai bagian dari ibadah yang harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Konsumsi Islami mengajarkan bahwa setiap tindakan konsumsi harus memperhatikan aspek halal (sesuai hukum Islam) dan tayyib (baik dan bermanfaat), serta menjauhi sifat boros atau berlebihan.

Di era modern ini, perilaku konsumen semakin kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti gaya hidup, teknologi, dan budaya. Banyak individu yang cenderung mengikuti tren konsumsi tanpa mempertimbangkan nilai-nilai etika dan moral yang seharusnya menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Fenomena ini sering kali memunculkan perilaku konsumtif yang tidak sehat, seperti pemborosan, penggunaan barang-barang yang tidak sesuai kebutuhan, hingga perilaku materialistis. Dalam konteks masyarakat Muslim, perilaku konsumtif semacam ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan kesederhanaan, keadilan, dan tanggung jawab dalam memiliki barang.

Islam memberikan panduan yang jelas mengenai bagaimana seorang Muslim seharusnya bersikap dalam memenuhi kebutuhannya. Konsumsi dalam Islam bukan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik semata, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui pengelolaan harta yang baik dan bertanggung jawab. Prinsip-prinsip seperti menghindari pemborosan (tabdzir), mengutamakan kebutuhan daripada keinginan (prioritas), serta memilih barang-barang halal dan bermanfaat menjadi landasan utama dalam perilaku konsumsi Islami.

Selain itu, perubahan sosial dan ekonomi di masyarakat turut memengaruhi pola konsumsi. Munculnya produk-produk halal dan layanan berbasis syariah menunjukkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat Muslim terhadap pentingnya konsumsi sesuai dengan ajaran agama. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam menghadapi godaan gaya hidup hedonis serta tekanan sosial untuk memiliki barang-barang mewah sebagai simbol status.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penting untuk memahami konsep konsumsi Islami secara mendalam serta bagaimana prinsip-prinsip Islam dapat diterapkan dalam perilaku konsumen. Dengan memahami hal ini, diharapkan dapat terbentuk pola konsumsi yang tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik tetapi juga memberikan manfaat spiritual dan sosial bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Makalah ini bertujuan untuk membahas konsep konsumsi Islami serta bagaimana prinsip-prinsip tersebut memengaruhi perilaku konsumen dalam memiliki barang sesuai dengan ajaran agama Islam.

B. Rumusan Masalah
  1. Menjelaskan Konsumsi dalam Islam 
  2. Menjelaskan Kepuasan Konsumsi dalam Islam 
  3. Menjelaskan Konsep Rasionalitas Ekonomi 
  4. Menjelaskan Kepuasan dan Rasionalitas Ekonomi dalam Islam 
  5. Menjelaskan Konsep Penting dalam Konsumsi
  6. Menjelaskan Teori Perilaku Konsumen dalam Ilmu Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam
  7. Menjelaskan Perbandingan Perilaku dan Prinsip Konsumsi Antara Konvensional dan Islam
  8. Menjelaskan Konsep Maslahah dalam Perilaku konsumen Islami
C. Tujuan
  1. Mengetahui Konsumsi dalam Islam 
  2. Mengetahui Kepuasan Konsumsi dalam Islam 
  3. Mengetahui Konsep Rasionalitas Ekonomi 
  4. Mengetahui Kepuasan dan Rasionalitas Ekonomi dalam Islam 
  5. Mengetahui Konsep Penting dalam Konsumsi
  6. Mengetahui Teori Perilaku Konsumen dalam Ilmu Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam
  7. Mengetahui Perbandingan Perilaku dan Prinsip Konsumsi Antara Konvensional dan Islam
  8. Mengetahui Konsep Maslahah dalam Perilaku konsumen Islami















BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsumsi Dalam Islam
Kata konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu consume/consumption yang berarti menghabiskan, konsumsi, pemakaian. Menurut kamus bahasa Indonesia, konsumsi adalah pemakaian barang barang produksi dan bahan makanan dan sebagainya. Secara garis besar tentu menghabiskan nilai guna.

Sedangkan menurut Samuelson, konsumsi adalah kegiatan menghabiskan utility (nilai guna) barang dan jasa. Dari tiga pengertian tentang konsumsi tersebut, maka dapat dikembangkan menjadi sebuah pengertian bahwa konsumsi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang konsumen untuk menghabiskan atau memakai nilai guna / utility suatu barang maupun jasa.

Konsumsi adalah satu kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang dianggap paling penting. Dalam ekonomi konvensional prilaku konsumsi dituntun oleh dua nilai dasar, yaitu rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar ini kemudian membentuk suatu prilaku konsumsi yang hedenostik - materialistik, individualistik, serta boros (wastefull). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip dasar bagi konsumsi adalah manusia akan mengkonsumsi apa saja dan dalam jumlah berapapun sepanjang anggarannya memenuhi dan memperoleh kepuasan maksimum. Dalam Islam, konsumsi tidak seperti itu. Karena ada hal yang menjadi aturan bagaimana etika konsumsi. Untuk itu perlu kiranya diketahui bagaimanakah teori konsumi dalam Islam.

Dalam ekonomi Islam, konsumsi tidak hanya sekedar menghabiskan nilai guna dari suatu barang, namun ada suatu nilai yang menjadi hal yang cukup penting dalam konsumsinya.
Perbuatan untuk memanfaatkan atau
mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan
dalam Islam. Sebab kenikmatan yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan
kepada-Nya yang berfirman kepada nenek moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa,
sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an:

يَŲ§ Ų£َيُّهَŲ§ النَّŲ§Ų³ُ كُŁ„ُوا Ł…ِŁ…َّŲ§ فِي Ų§Ł„ْŲ£َŲ±ْŲ¶ِ Ų­َŁ„َŲ§Ł„ًŲ§ Ų·َيِّŲØًŲ§ وَŁ„َŲ§ ŲŖَŲŖَّŲØِŲ¹ُوا Ų®ُŲ·ُوَŲ§ŲŖِ الَّؓيْŲ·َانِ

Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah :168)

B. Kepuasan Konsumsi dalam Islam 
Lahirnya teori kepuasan konsumen dalam perspektif ekonomi konvensional akan melahirkan manusia serakah dan mementingkan diri sendiri. Hal ini karena asumsi rasional konsumsi dibangun atas dasar utility (kepuasan).

Secara sederhana setidaknya terdapat 2 (dua) hal yang perlu untuk kritisi dari prilaku konsumsi yang berorientasi pada utility yakni pertama tujuan konsumsi hanyalah untuk mencapai kepuasan dan kedua batasan konsumsi hanyalah kemampuan anggaran. Artinya sepanjang dia mempunyai pendapatan maka tidak ada yang bisa membatasinya untuk melakukan konsumsi. Tentunya sikap ini akan menafikan kepentingan orang lain dan menafikan zat dan jenis barang (halal dan berkahnya barang).

Dalam menentukan kepuasan konsumsi bagi seorang muslim harus berorientasi dalam mengoptimalkan maslahah bukan memaksimalkan. Karena dalam rasionalitas Islam memegang prinsip lebih banyak tidak selalu lebih baik (the more isn't always the better). Maslahah akan terwujud ketika nilai berkah optimum dapat terpenuhi. Oleh itu kandungan berkah sangat mempengaruhi preferensi konsumen pada saat akan mengkonsumsi barang. Hal ini menjadikan konsumen akan selalu mengoptimalkan berkah dalam usaha mengoptimalkan maslahah.

Dalam ilmu ekonomi Islam, kepuasaan seorang muslim disebut dengan qona'ah. Kepuasan dalam Islam (qona'ah) merupakan cerminan kepuasaan seseorang baik secara lahiriah maupun batiniah. Kepuasan dalam Islam berkaitan dengan keimanan yang melahirkan rasa syukur. Kepuasan menurut Islam harus mempertimbangkan beberapa hal berikut:
  • Barang atau jasa yang dikonsumsi harus halal
  • Dalam menkonsumsi barang atau jasa tidak berlebih-lebihan
  • Tidak mengandung riba.
C. Konsep Rasionalitas Ekonomi 
Pandangan tentang konsep rasionalitas memiliki konsekuensi terhadap perilaku manusia dalam melakukan tindakan ekonomi dan tujuan-tujuan hidupnya. Rasionalitas ekonomi yang dibangun oleh konsepsi homo economicus sebagaimana dikembangkan dalam ekonomi kapitalis dan sosialis berbeda dengan rasionalitas ekonomi yang dibangun oleh konsepsi homo islamicus sebagaimana dikembangkan dalam ekonomi islam.

Rasionalitas Islam secara umum dibangun atas dasar aksioma-aksioma yang diderivasikan dari agama Islam. Meskipun demikian, beberapa aksioma ini merupakan kaidah yang berlaku umum dan universal sesuai dengan universalitas agama Islam. Secara garis besar. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII dan Bank Indoensia (BI) mengungkapkan terdapat beberapa aksioma yang membangun konsep rasionalitas ekonomi islam sebagai berikut":

1. Setiap Pelaku Ekonomi Bertujuan untuk Mendapatkan Mashlahah
Untuk mewujudkan kesejahteraan falah maka kegiatan ekonomi harus diarahkan untuk mencukupi kebutuhan guna menghasilkan mashlahah. Oleh karenanya, pada dasarnya setiap pelaku ekonomi akan berorientasi untuk mencapai mashlahah ini. Berkaitan dengan perilaku mencari mashlahah ini, seseorang akan selalu:

1) Mashlahah yang lebih besar lebih disukai daripada yang lebih sedikit.
Mashlahah yang lebih tinggi jumlah atau tingkatannya lebih disukai daripada mashlahah yang lebih rendah jumlah atau tingkatannya atau monotonicity mashlahah yang lebih besar akan memberikan kebahagiaan yang lebih tinggi, karenanya lebih disukai daripada mashlahah yang lebih kecil.

2) Mashlahah diupayakan terus meningkat sepanjang waktu.
Konsep ini sering disebut dengan quasi concavity, yaitu situasi mashlahah yang menunjukkan pola non-decreasing. Karena jika seseorang menderita sakit maka ia akan berusaha mengobati sakitnya tersebut, sebab sakit tidaklah menyenangkan dan dapat menurunkan mashlahah hidupnya. Selanjutnya dia bersedia mengeluarkan sejumlah pengobatan tertentu misalnya olahraga, vaksinasi, dan lain-lain agar tidak jatuh sakit lagi dan lebih sehat di masa depan agar mashlahah hidupnya semakin meningkat atau setidaknya tetap.

2. Setiap Pelaku Ekonomi Selalu Berusaha untuk Tidak Melakukan Kemubaziran (non-wasting)
Dapat dipahami bahwa untuk mencapai suatu tujuan, maka diperlukan suatu pengorbanan. Namun, jika pengorbanan tersebut lebih besar dari hasil yang diharapkan, maka dapat dipastikan bahwa telah terjadi pemubaziran atas suatu sumber daya. Perilaku mencegah wasting ini diinginkan oleh setap pelaku karena dengan terjadinya kemubaziran berarti telah terjadi pengurangan dari sumber daya yang dimiliki tanpa konpensasi berupa hasil yang sebanding.

3. Setiap Pelaku Ekonomi Selalu Berusaha untuk Meminimumkan Risiko (Risk Aversion)
Risiko adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan oleh karenanya menyebabkan menurunnya mashlahah yang diterima. Hal ini merupakan konsekuensi dari aksioma monotonicity dan qusi concavity. Namun, tidak semua risiko dapat dihindari atau diminimumkan. Hanya risiko yang dapat diantisipasi (anticipated risk) saja yang dapat dihindari atau diminimumkan. Ada juga risiko-risiko yang setiap orang bersedia untuk menanggungnya, karena pertimbangan mashlahah yang lebih besar. Untuk itu dalam pembahasan aksioma ini, risiko dibedakan menjadi:

1) Risiko yang bernilai (Worthed Risk)
Risiko ini mengandung dua elemen yaitu risiko (risk) dan hasil (return). Kedua istilah ini muncul karena dalam hal-hal tertentu hasil selalu terkait dengan risiko, dimana keduanya dapat sepenuhnya diantisipasi dan dikalkulasi seberapa besar peluang dan nilainya. Dengan membandingkan risiko dan hasil maka suatu risiko akan dapat ditentukan apakah risiko tersebut worthed atau tidak. Suatu risiko dapat dianggap worthed atau tidak. Suatu risiko dapat dianggap worthed jika dan hanya jika risiko yang dihadapi nilainya lebih kecil daripada hasil yang akan diperoleh.
Kemunculan fenomena worthed risk ini tidak menyimpang dari aksioma-aksioma yang dikemukakan di depan. Dalam konteks tersebut risiko dapat dianggap sebagai pengorbanan bagi seseorang yang memikulnya, sedangkan hasil dapat dianggap sebagai bagian dari mashlahah yang diterima sebagai konpensasi kesediaannya memikul risiko. Jika mashlahah yang diterima lebih besar dari risiko, yaitu engorbanan, maka pengorbanan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hal yang sia-sia dan karenanya tidak bertentangan dengan aksoma non-wasting. Dalam hal ini mashlahah yang positif berarti juga tidak bertentangan dengan aksioma monotonicity.

2) Risiko yang tak bernilai (Unworthed Risk)
Meskipun worthed risk telah menjadi fenomena di banyak kegiatan ekonomi saat ini, namun terdapat pula risiko-risiko yang amworthed, yaitu ketika nilai hasil yang diharapkan lebih kecil dari risiko yang ditanggung ataupun ketika risiko dan hasil tersebut tidak dapat diantisipasi dan dikalkulasi. Objek pembahasan dalam paparan ini dibatasi pada unworthed risk. Dengan kata lain, hanya jenis risiko inilah yang setiap pelaku berusaha untuk menghindarinya.

4. Setiap Pelaku Ekonomi Dihadapkan pada Situasi Ketidakpastian
Ketidakpastian dapat menurunkan mashlahah yang diterima. Kemunculan risiko dalam banyak hal dapat diantisipasi melalui gejala yang ada. Gejala yang dimaksud disini adalah. adanya ketidakpastian (uncertainty). Secara spesifik, situasi ketidakpastian akan dapat menimbulkan risiko. Dengan begitu suatu ketidakpastian banyak diidentikan dengan risiko itu sendiri, atau ketidakpastian dianggap sebagai dual dari resiko. Oleh karena itu, situasi ketidakpastian juga dianggap sebagai situasi yang dapat menurunkan nilai mashlahah.

5. Setiap Pelaku Berusaha Melengkapi Informasi dalam Upaya Meminimumkan Risiko
Dalam kondisi ketidakpastian, setiap pelaku berusaha untuk mencari dan melengkapi informasi serta kemampuannya. Hal ini kemudian digunakan untuk mengkalkulasi apakah suatu risiko masuk dalam katagori worthed atau unworthed sehingga dapat ditentukan keputusan apakah akan menghadapi risiko tersebut atau menghindarinya. Informasi ini dapat digali melalui fenomena kejadian masa lalu ataupun petunjuk/informasi yang diberikan pihak tertentu.

D. Kepuasan dan Rasionalitas Ekonomi dalam Islam 
Kepuasan dan rasionalitas ekonomi dalam Islam adalah prinsip yang mendasari perilaku ekonomi umat Islam. Dalam Islam, rasionalitas ekonomi diartikan sebagai upaya untuk mencapai kebaikan yang lebih besar bagi individu dan masyarakat. 

Dalam konteks rasionalitas dalam konsumsi yang lebih spesifik Fahim, Khan, membadakan antara maslahah dan kepuasan, maslahah dikoneksikan dengan keingin wants, ia menderivasikan pandangan kepada konsep maqasid syariah, dan maslahah yang berujung pada li-mashalih al-ibadah (untuk kemaslahatan hamba manusia) (FSEI; 2008)

Berkaitan dengan rasionalitas perilaku muslim dalam kepuasan (utility) Anas Zarqa, membedakan secara fundamental antara homo economic dan homo islamicus dimana fungsi-fungsi yang melekat pada homo economicus melekat juga pada homo islamicus, yang membedakanya adalah pahala, reward dan hukuman dosa di akhirat (FSEI; 2008)

Kepuasan optimal dapat diketahui dari perintah (hadits) nabi, yaitu untuk berhenti makan sebelum kenyang. Hal ini disebabkan karena pada saat itulah kondisi kreasi dapat diperoleh. Gambaran kepuasan dan keadaan siap kreasi optimal diperoleh, dapat digambarkan sebagai berikut. (Muhamad, 2004)



Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa kepuasan optimal yang menghasilkan keadaan siap kreasi maksimal berada pada titik di mana pertambahan kepuasan yang diperoleh atas pertambahan jumlah barang yang dikonsumsi sama dengan harga barang. Dalam Islam ada tiga hukum yang berlaku dalam konsumsi, yaitu halal, mubah, dan haram; halal berlaku pada daerah I (orang wajib makan); mubah berlaku pada daerah II yaitu daerah di mana seseorang harus berhati-hati dalam makan karena telah mencapai kepuasan optimal; dan makan menjadi haram jika telah menempati daerah III yaitu bila seseorang telah mencapai kepuasan maksimum tetapi masih terus menambah barang yang dimakannya, pada saat makan berada di dU/dQ0 berarti pada saat inilah seseorang telah mencapai kepausan optimum. Sedangkan bila telah mencapai kepuasan maksimum, maka harus berhenti makan karena bila melebihi batas-batas kemampuan konsumsi barang yang semula halal bisa menjadi haram.

Dengan demikian economic rationality from Islamic view bermakna, (1) konsisten dalam pilihan ekonomi (2) Content pilihan tidak mengandungi haram, israf, tabdzir, mudarat kepada masyarakat (jadi senantiasa taat kepada rules Allah) (3) Memperhatikan faktor eksternal seperti kebaikan hati (altruism) yang sesungguhnya, interaksi sosial yang mesra. Menurut Siddiqi, perilaku rasional dalam ekonomi Islam tidak selalu mengindikasikan pemaksimuman. (Rational behaviour in Islamic economics doesn't necessarily imply maximization) (Tim Penulis MSI UII; 2008).

E. Konsep Penting dalam Konsumsi 
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang jika dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.

  1. Kebutuhan (Hajat). Dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan penggunaan sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting pengembangan potensi manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga, kebutuhan dalam prespektif Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya yang tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan isinya.
  2. Kegunaan atau Kepuasan (Manfaat). Beberapa ayat al-Qur'an mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan terwujudnya kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah barang yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan lebih dari itu, barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak negatif di kemudian hari.
F. Teori Perilaku Konsumen dalam Ilmu Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam
  1. Teori Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Konvensional. 
James F. Angel berpendapat bahwa Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang jasa ekonomis termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan-tindakan tersebut (Mangkunegara, 2012).

David L. Loudon dan Albert J. Della. Bitta (1979) mengemukakan bahwa Perilaku konsumen dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan dan aktivitas individu secara fisik yang dilibatkan dalam proses mengevaluasi, memperoleh, menggunakan atau dapat mempergunakan barang-barang dan jasa


Model perilaku konsumen adalah suatu skema atau kerangka kerja yang disederhanakan untuk menggambarkan aktivitas konsumen atau dapat pula diartikan sebagai kerangka kerja atau sesuatu yang mewakili apa yang diyakinkan konsumen dalam mengambil keputusan membeli (Mangkunegara, 2012). Menurut Kotler, Model perilaku konsumen atau yang biasa disebut sebagai kotak hitam pembeli seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 memperlihatkan pemasaran dan rangsangan pemasaran lainnya yang masuk kedalam "kotak hitam" pembeli dan menghasilkan jawaban tertentu. Tugas pemasar adalah memahami apa yang terjadi dalam kotak hitam pembeli yaitu di antara rangsang dan jawaban.
2. Teori Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Islam 

Ekonomi Islam pada hakekatnya terletak pada penyikapan manusia pada harta. Termasuk didalamnya semua perilaku manusia dalam mencari harta (produksi), menyimpan harta (mengelola kekayaan) dan membelanjakan harta (konsumsi). Menurut Sakti (2003) Ada empat prinsip utama dalam Sistem Ekonomi Islam yang diisyaratkan dalam Al Qur'an.

Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurious living), bermakna juga bahwa tindakan-tindakan ekonomi hanyalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan (needs) bukan memuaskan keinginan (wants) (Qorodhowi, 1997). Menurut Abdul Mannan (1995) sikap tidak berlebih-lebihan dan mengutamakan kepentingan orang lain adalah yang paling penting yang diartikan secara luas.

Menurut Mannan, konsumsi yang dilakukan seseorang yang menggunakan aturan Islam harus memenuhi lima prinsip, yaitu prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prisip kemurahan hati, dan prinsip moralitas (Mannan, 1995). Sedangkan Yusuf Qaradhawi (1999) menjelaskan bahwa dalam konsumsi terdapat tiga prinsip yaitu membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir, tidak melakukan kemubaziran dan kesederhanaan. Pendapat para tokoh ini, pada intinya adalah satu yaitu bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah.

Terdapat empat prinsip dalam sistem ekonomi Islam dalam menyikapi permasalahan tentang perilaku konsumen, termasuk konsumsi di dalamnya: Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and lixurius living); bahwa tindakan ekonomi diperuntukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup (needs) bukan pemuasan keinginan (wants).


Menjalankan usaha-usaha yang halal (permissible conduct), jauh dari riba, maisir dan gharar, meliputi bahan baku, proses produksi out put produksi hingga proses distribusi dan konsumsi harus dalam kerangka halal.

Dari prinsip-prinsip demikian, terlihat bahwa model perilaku muslim dalam menyikapi harta benda dan jasa bukanlah merupakan tujuan. Kesemuanya merupakan media untuk akumulasi kebaikan dan pahala demi tercapainya falah (kebahagiaan dunia akhirat). Harta merupakan pokok kehidupan karenanya harus dijaga dan dikembangkan melalui pola-pola produktif (QS. An-Nisa: 5). Harta benda merupakan karunia Allah yang diberikan kepada manusia sesuai dengan usaha yang dilakukannya (QS. An-Nisa: 32).

Islam memandang segala yang ada di muka bumi dan seisinya adalah milik Allah SWT, yang diciptakan untuk manusia. Manusia boleh memilikinya secara sempurna namun tetap dalam Kekuasaan Allah SWT. Karena itu, kepemilikan manusia atas harta benda merupakan amanah. Dengan nilai amanah itulah manusia dituntut untuk menyikapi harta benda untuk mendapatkannya dengan cara yang benar, proses yang benar dan pengelolaan dan pengembangan yang benar pula.

Sebaliknya dalam perspektif konvensional, harta merupakan asset yang menjadi hak pribadi. Sepanjang kepemilikan harta tidak melanggar hukum atau undang-undang, maka harta menjadi hak penuh si pemiliknya. Dengan demikian perbedaan Islam dan konvensional tentang harta terletak pada perbedaan cara pandang. Islam cenderung melihat harta berdasarkan flow concept sedangkan konvensional memandangnya berdasarkan stock concept.

Adiwarman membahas harta, dimasukkan dalam pembahasan uang dan kapital. Menurut beliau uang dalam Islam adalah public goods yang bersifat flow concept sedangkan kapital merupakan private goods yang bersifat stock concept. Sementara itu menurut konvensional uang dan kapital merupakan private goods. (Karim, 2002)

Namun pada tingkatan praktis, prilaku ekonomi (economic behavior) sangat ditentukan oleh tingkat keyakinan atau keimanan seseorang atau sekelompok orang yang kemudian membentuk kecenderungan prilaku konsumsi dan produksi di pasar. Dengan demikian dapat disimpulkan tiga karakteristik perilaku ekonomi dengan menggunakan tingkat keimanan sebagai asumsi.

G.Membandingkan Perilaku dan Prinsip Konsumsi Antara Konvensional dan Islam
Dalam ekonomi konvensional, konsep barang atau jasa adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai guna (utility) yang dapat memberikan tingkat kepuasan kepada seseorang. Sementara konsep utilitas yang dimaksud adalah jika sesuatu tersebut dapat memberikan tingkat kepuasan maka dinamakan barang/konsumsi. Pandangan utility ini sangat bersifat subjektif bagi masing-masing individu, artinya suatu yang dianggap memberikan nilai guna berupa pemenuhan rasa puas atas konsumsinya belum tentu akan memberi rasa puas pada individu yang lain. (Ely Masykuroh, 2008, p.146-147).

1. Teori nilai guna

Didalam teori ekonomi kepuasan seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang dinamakan utility atau nilai guna. Kalau kepuasan semakin tinggi, semakin tinggi pula nilai gunanya.

Sebaliknya, bila kepuasan semakin rendah maka semakin rendah pula nilai gunanya. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasan mempertimbangkan beberapa hal yakni, barang yang dikonsumsi tidak haram termasuk didalamnya berspekulasi, menimbun barang dan melakukan kegiatan di pasar gelap, tidak mengandung riba, dan memperhitungkan zakat dan infaq. Oleh karena itu kepuasan seseorang muslim tidak didasarkan atas banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi, tetapi lebih dikarenakan apa yang dilakukan sebagai ibadah dengan memenuhi apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi segala larangan Allah. Seperti tindakan-tindakan yang merugikan dan seperti pemborosan. (Heri Sudarsono, 2002, p. 152-153) 

Mengurangi konsumsi sebelum mencapai kepuasan maksimal sebagai upaya untuk menjaga konsistensi kepuasan yang diterima seorang muslim dari mengkonsumsi suatu barang, karena tambahan nilai guna yang akan diperoleh akan menjadi semakin sedikit apabila ia terus menerus manambah konsumsi. Hukum ini terkenal dengan hukum nilai guna marginal yangs semakin menurun. Pada akhirnya tambahan nilai guna akan menjadi negatif. Apabila konsumsi keatas barang tersebut ditambah terus, maka nilai guna total akan menjadi semakin sedikit. (Heri Sudarsono, 2002, p.154-155)

2. Fungsi Utility

Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan (utility function) digambarkan oleh kurva indiveren. Biasanya yang digambarkan adalah utility function antara dua barang atau jasa yang keduanya memang disukai oleh konsumen. Dalam membangun utility function, digunakan tiga aksioma pilihan rasional:
1). Completeness 
Aksioma ini mengatakan bahwa setiap individu selalu dapat menentukan keadaan mana yang lebih disukainya diantara dua keadaan.
2). Transitivity 
Aksioma ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatakan "A" lebih disukai daripada "B" dan "B" lebih disukai daripada "C", "maka pasti ia akan mengatakan bahwa "A" lebih disukai daripada "C". aksioma ini sebenarnya untuk memastikan adanya konisistensi internal dalam diri individu. dalam mengambil keputusan.
3). Continuity 
Aksioma ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatkan "A" lebih disukai daripada "B", "maka keadaan yang mendekati "A" pasti juga lebih disukai daripada "B" (Adi Warman A karim, 2007, p.64-65)

3. Perbedaan Maslahah dan Utility

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa tujuan konsumsi seorang muslim bukanlah mencari utility, melainkan mencari maslahah. Konsepsi utility atau kepuasan sangat berbeda dengan konsep masalahah atau kemanfaatan yang menjadi tujuan dalam konsumsi yang islami. Konsep utility bersifat sangat subyektif karena bertolak dari pemenuhan yang memang bersifat subyektif sementara itu, konsep maslahah relative lebih obyektif karena bertolak dari pemenuhan need yang memang relative lebih obyektif dibanding want.

4. Perbedaan Motif dan Tujuan Konsumsi Islami dengan Konvensional

Gambar 1.1 dan 1.2 menunjukkan perbedaan motif dan tujuan konsumsi islami dengan konvensional, pada gambar 1.1 menjelaskan motif dan tujuan konsumsi dalam ekonomi konvensional sedangkan gambar 1.2 menjelaskan motif dan tujuan konsumsi dalam ekonomi islam (Hendri Anto, 2003, p.127)



H. Konsep Maslahah dalam Perilaku konsumen Islami

Secara sederhana maslahah dapat diartikan sebagai segala bentuk kedaan, baik material maupun non material, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai mahkluk yang paling mulia (P3EI UII Yogyakarta, 2008:5).

Selain itu juga mashlahah diartikan yaitu, merupakan segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spritual serta individual dan kolektif serta harus memenuhi tiga unsur yakni kepatuhan syariah (halal), bermanfaat dan membawa kebaikan (thoyib) dalam semua aspek secara keseluruahn yang tidak menimbulkan kemudharatan. (Ahmad Ifham Sholihin, 2010:498)

Perilaku konsumen dalam Islam menekankan pada konsep dasar bahwa manusia cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan rasionalitas ekonomi Islam bahwa setiap pelaku ekonomi ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya dalam berkonsumsi. 

Tujuan lain dari konsumen adalah bertujuan untuk mencapai maslahah. Pencapaian maslahah merupakan tujuan dari syariat Islam yang menjadi tujuan dari kegiatan konsumsi. Maslahah dipergunakan dalam ekonomi Islam, disebabkan penggunaan asumsi manusia bertujuan mencari kepuasan (utility) maksimum tidak mampu menjelaskan apakah barang yang memuaskan selalu identik dengan barang yang memberikan manfaat atau berkah bagi penggunanya. Selain itu, batasan seseorang dalam mengonsumsi hanyalah kemampuan anggaran tanpa mempertimbangkan aturan dan prinsip syariat.

Perilaku konsumen dalam Islam menekankan pada konsep dasar bahwa manusia cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimal. Hal ini sesuai dengan rasionalitas dalam ekonomi Islam bahwa setiap pelaku ekonomi ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya dalam konsumsi.

Dalam Al-Qur'an, kata maslahah banyak disebut dengan istilah manfaat yang berarti kebaikan yang terkait dengan material, fisik, dan psikologis. Maslahah sering diungkap juga dengan istilah lain seperti hikmah, huda dan barakah, yang berarti imbalan baik yang dijanjikan oleh Allah mulai di dunia dan hingga di akhirat. Dengan demikian maslahah mengandung pengertian kemanfaatan dunia dan akhirat.


Konsep maslahah dikoneksikan dengan kebutuhan, sedangkan kepuasan dikoneksikan dengan keinginan. Dengan demikian, kepuasan merupakan suatu akibat dari terpenuhinya suatu keinginan, sedangkan maslahah merupakan suatu akibat atas terpenuhinya kebutuhan. Meskipun demikian, terpenuhinya suatu kebutuhan juga akan memberikan kepuasan, terutama jika kebutuhan tersebut didasari dan diinginkan sehingga akan merasakan maslahah sekaligus kepuasan. Berbeda dengan kepuasan yang bersifat individualis, maslahah tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi dapat dirasakan pula oleh orang lain atau sekelompok masyarakat.

Islam mengakui bahwa maslahah tetap menyisakan ruang subjektivitas, tetapi setidaknya dapat dikatakan bahwa konsep maslahah lebih objektif dibandingkan dengan konsep utility, dengan beberapa alasan sebagai berikut:

a). Maslahah relatif lebih objektif karena didasarkan pada pertimbangan yang objektif (kriteria tentang halal dan baik) sehingga sesuatu benda ekonomi dapat diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak. Sementara, utility mendasarkan kriteria yang lebih subjektif, karena dapat berbeda antara individu satu dengan lainnya. Misalnya, minuman keras bagi seorang muslim adalah haram karena dilarang oleh agama, sebab kerugiannya lebih besar dibanding maslahah, yaitu dapat merusak akal. Sementara dalam konsep utility minuman keras memiliki manfaat meskipun bersifat relatif, tergantung pada keadaan individu masing-masing.

b). Maslahah individu relatif konsisten dengan maslahah sosial, sebaliknya utilitas individu sering berseberangan dengan utilitas sosial. Hal ini terjadi karena dasar penentuannya yang lebih objektif sehingga lebih mudah. diperbandingkan, dianalisis dan disesuaikan antara individu dan sosial, misalnya minuman keras memiliki utilitas bagi individu yang menyukainya tetapi tidak memiliki utilitas sosial.

c). Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi, maka semua aktivitas ekonomi masyarakat, baik konsumsi, produksi dan distribusi akan mencapai tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan. Hal ini berbeda dengan utility dalam ekonomi konvensional, konsumen mengukurnya dari kepuasan yang diperoleh konsumen dan keuntungan yang maksimal bagi produsen dan distributor, sehingga berbeda tujuan yang akan dicapainya.


d). Dengan konsep maslahah dapat membedakan antara orang satu dengan orang lainnya. Misalnya, orang yang melindungi hidupnya dengan mengkonsumsi buah-buahan tentunya berbeda dengan orang yang mengkonsumsi buah-buahan untuk menjaga kesehatannya.

Ahmed Sakr mengidentifikasi beberapa kriteria dari maslahah, yaitu jelas dan faktual, artinya objektif, terukur dan nyata, bersifat produktif yang artinya maslahah memberikan dampak konstruktif bagi kehidupan Islami, tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang berarti tidak terdapat konflik antara maslahah individu dan maslahah sosial.

Sementara itu dalam konteks perilaku konsumen, konsep maslahah juga dibedakan dengan utility. Utility diartikan sebagai konsep kepuasan konsumen dalam konsumsi barang dan jasa. Sedangkan konsep maslahah diartikan sebagai konsep pemetaan perilaku konsumen berdasarkan asas kebutuhan dan prioritas.

Kandungan maslahah terdiri atas manfaat dan berkah. Dalam hal perilaku konsumsi, seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Ia merasakan adanya manfaat dari kegiatan konsumsi jika mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau material. Pada sisi lain, berkah yang diperolehnya ketika ia mengonsumsi barang atau jasa yang dihalalkan oleh syariat Islam. Mengonsumsi yang halal saja merupakan kepatuhan pada Allah SWT. sehingga ia memperoleh pahala. Pahala inilah yang kemudian dirasakan sebagai berkah dari barang atau jasa yang telah dikonsumsi. Sebaliknya konsumen tidak akan mengonsumsi suatu barang atau jasa yang haram karena tidak mendatangkan berkah. Mengonsumsi yang haram hanya akan menimbulkan dosa yang pada akhirnya berujung pada siksa Allah SWT. Dengan demikian, mengonsumsi yang haram justru memberikan berkah negatif.

Maslahah adalah pemilikan atau kekuatan dari barang atau jasa yang memelihara prinsip-prinsip dasar dan tujuan hidup manusia di dunia. Shatibi telah mendeskripsikan lima kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi eksisnya kehidupan manusia di dunia, yaitu kehidupan, kekayaan, keimanan, akal dan keturunan. Seluruh barang dan jasa yang mendorong dan berkualitas dalam memelihara kelima elemen tersebut disebut maslahah.

Seorang muslim memerlukan atau memproduksi seluruh barang dan jasa yang merupakan maslahah bergantung pada barang atau jasa yang cenderung mempertahankan elemen mendasar. Barang atau jasa yang melindungi elemen ini akan lebih bermaslahat diikuti oleh barang atau jasa yang akan meningkatkan dan barang-barang yang sekedar memperindah kebutuhan dasar.

Dalam konteks perilaku konsumen, konsep maslahah juga dibedakan dengan utility. Utility diartikan sebagai konsep kepuasan dalam konsumsi barang dan jasa. Sedangkan konsep maslahah diartikan sebagai konsep pemetaan perilaku konsumen berdasarkan atas kebutuhan dan prioritas. Dua konsep ini berbeda karena dibentuk oleh epistemologi yang berbeda pula.







Bab III

PENUTUP 

A. Kesimpulan 

Konsumsi Islami dan perilaku konsumen dalam memiliki barang merupakan bagian penting dari ajaran Islam yang berlandaskan prinsip mashlahah (kemaslahatan) untuk diri, masyarakat, dan lingkungan. Dalam Islam, konsumsi tidak hanya dipandang sebagai aktivitas memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang sesuai syariat. Prinsip konsumsi Islami menekankan pada keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan duniawi dan akhirat, serta menghindari perilaku berlebihan (tabdzir) atau kikir (taqtir).

Mashlahah menjadi landasan utama dalam konsumsi Islami, di mana setiap keputusan konsumsi harus membawa manfaat dan kebaikan, baik secara individu maupun sosial. Konsumen Muslim dianjurkan untuk memilih barang yang halal dan thayyib (baik), sehingga dapat menjaga kesehatan fisik, spiritual, dan moral. Selain itu, perilaku konsumsi juga harus mencerminkan nilai-nilai tanggung jawab sosial, seperti berbagi dengan sesama melalui zakat, infak, dan sedekah.

Islam mengajarkan bahwa harta adalah amanah dari Allah yang harus digunakan dengan bijak untuk mencapai tujuan hidup yang lebih besar, yaitu memperoleh keridhaan-Nya. Oleh karena itu, perilaku konsumen Muslim harus didasarkan pada prinsip efisiensi, keadilan, dan keberlanjutan, sehingga tidak hanya memberikan manfaat bagi diri sendiri tetapi juga bagi masyarakat luas. Dengan menerapkan konsumsi Islami yang berorientasi pada mashlahah, umat Islam dapat menciptakan keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi serta berkontribusi pada terciptanya kehidupan yang harmonis dan penuh berkah.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Maka dari itu Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun pembahasan makalah di atas.







DAFTAR PUSTAKA 

Daryanto S.S. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Apollo, Surabaya, 1997, h. 374

Hubungan antara motif dan tujuan konsumsi Sumber: M.B. Hendrie Anto (2003: 130

John M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, h.142

JURNAL PERSPEKTIF EKONOMI DARUSSALAM

Rozalinda, op.cit, him. 200

Sumar'in, Ekonomi Islam Sebuah Pendekatan Ekonomi Mikro Perspektif Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), 100-103,



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fungsi Produksi dan Biaya Produksi dalam Jangka Pendek dan Panjang

Harga dalam Ekonomi Islam dan Mekanisme Pasar Islami

Teori Permintaan Islam